Hari minggu siang (26/10) yang mendung, saya terlibat chatting via Y!M dengan Fritz, sahabat baik saya. Bukan hal aneh kalo kami berbeda pendapat dan berdebat tentang macam-macam hal; sudah sering. Tapi perbincangan hari ini menarik buat saya (walopun mungkin basi di blogsfer): kami bertukar opini tentang tanggung jawab blogger di masyarakat. Dimulai dengan menanyakan Roy Suryo, Fritz lalu sampai pada argumen bahwa blogger seharusnya punya tanggungjawab sosial meneruskan ide-ide jenius mereka lewat media yang lebih umum ke masyarakat (Indonesia) yang relatif masih jauh dari internet ini, tidak cuma berhenti di blog mereka saja. Saya kurang sepakat, tapi juga gagal memenangkan adu argumentasi atau mencarikan link yang relevan. Jadi, saya posting saja skalian… 😛
Okay, ini cuplikan chat-nya (yermi_kr itu saya)
(dari topik Roy Suryo: hebat atau sok?)
…
fritz_haryadi: namanya orang yang jadi “the only one” wajar kalo keblinger
fritz_haryadi: daripada jadi penghujat kan lebih baik jadi pesaing
fritz_haryadi: geddoe, gun, dkk itu kan punya kompetensi utk bikin semacam biro klarifikasi hoax
fritz_haryadi: daripada cuma berbagi cerita
fritz_haryadi: kalo kita wajar gak punya kapasitas
fritz_haryadi: tapi mereka kan punya
fritz_haryadi: cuma memilih utk stay underground
fritz_haryadi: tipe2 pengacau yang tidak bisa membantu mengembangkan bangsa
yermi_kr: kalo masalah2 sosial biasanya mereka posting di omaigat
yermi_kr: tp sa tra ingat ada topik RS ka tidak
fritz_haryadi: harus disadari kalo i-net belum merakyat
fritz_haryadi: kalo mau bener2 didengar harus go public
fritz_haryadi: itu yang lebih dulu disadar RS
yermi_kr: itu masalah klasik disini
fritz_haryadi: masalah klasik yang cuma direnungi tanpa disikapi
yermi_kr: terlalu bnyak hal bagus di blogsfer yg gak bisa sampai ke publik
yermi_kr: sayang…
fritz_haryadi: itu sebabnya status “klasik” tetap status quo
fritz_haryadi: kalo diniatkan utk sampe ke publik pasti bisa sampe
yermi_kr: ?
fritz_haryadi: masa sih tdk ada yang punya akses ke semacam production house
fritz_haryadi: itulah yang sa bilang, mereka lebih nyaman stay underground
fritz_haryadi: takut dengan persaingan terbuka
yermi_kr: IMO, bisa sharing kejeniusan di blogsfer saja sdh 2 jempol
fritz_haryadi: tapi hanya utk kalangan terbatas
yermi_kr: sa tdk akan memandang sebelah mata cm karena lalu mentok disitu (gak naik ke dunia nyata)
fritz_haryadi: masalahnya kalo tidak muncul ke permukaan, mereka hanya akan jadi fosil
yermi_kr: adalah tugas pemerintah (?) tuk menginternetkan masyarakat
fritz_haryadi: pemerintah lagi, pemerintah lagi
fritz_haryadi: pikiran yang manja
yermi_kr: bkn tugas blogger tuk cari media lain yg lbh memasyarakat
fritz_haryadi: semua negara yang maju itu berawal dari rakyat
fritz_haryadi: jadi “blogger” itu profesi tanpa tanggung jawab?
fritz_haryadi: memang tidak ada job description yang mengikat secara hukum,
fritz_haryadi: tapi masa tidak punya rasa tanggung jawab pribadi, puas cuma curhat doang
fritz_haryadi: pada saat pemerintah sudah mampu (baca: punya cukup alokasi anggaran di pos IT), blogger2 saat ini mungkin sudah pada mati
fritz_haryadi: kan tau sendiri masalah negeri ini su terlalu banyak
fritz_haryadi: carpe diem
yermi_kr: intinya: orang ngeblog, karena pengen nulis
yermi_kr: bhw tulisan itu sampai/tidak ke sasaran (dunia nyata), itu urusan lain
fritz_haryadi: itu yang disebut tidak punya tanggung jawab
fritz_haryadi: sama saja dengan grafiti
yermi_kr: beda jauh
fritz_haryadi: inti dari inti: orang ngeblog, karena pengen nulis tanpa ketauan orang banyak
fritz_haryadi: ngumpet
yermi_kr: tidak, sebelum ada blog, orang justru susah nulis
fritz_haryadi: ya karena tidak ada tempat sembunyi kan?
yermi_kr: harus jadi wartawan dulu
yermi_kr: misalnya
yermi_kr: ko saja yg kerja di suratkabar, stengah mati naikkan tulisan sendiri
fritz_haryadi: itu karena saya disini
fritz_haryadi: kalau saya di jakarta tidak akan sesusah ini
yermi_kr: dgn blog, ko pu posisi gak ngaruh
fritz_haryadi: visi saya sangat menjual
yermi_kr: bisa diakses sedunia
fritz_haryadi: “sedunia dengan komputer”
fritz_haryadi: berapa persen sih orang indonesia yang punya akses komputer?
fritz_haryadi: yang tidak dipunyai blogger itu : toleransi
yermi_kr: berapa persen orang jayapura baca SPP?
fritz_haryadi: merasa kalangan terbatas saja yang bisa baca, jadi nulis seenak dengkul
fritz_haryadi: itu yang membatasi mereka dari tanggung jawab
fritz_haryadi: selama masih dalam batas-batas tertentu, tentunya masih bisa diterima
fritz_haryadi: kalo saya di jakarta saya bisa masuk tempo
fritz_haryadi: paling tidak metroTV
fritz_haryadi: karena satu2nya kendala saya gagal masuk metro papua tempo hari adalah karena saya bukan papua
yermi_kr: tapi di tempo & metro gak akan ada komen
yermi_kr: yg sering bisa melengkapi post itu sendiri
fritz_haryadi: ada lah
fritz_haryadi: masalahnya kan cuma waktu
fritz_haryadi: komen pembaca kan bisa dikirim dan dimuat edisi berikutnya
yermi_kr: itu kelemahannya
fritz_haryadi: yang jadi masalah terbesar : di indonesia belum ada jembatan antara maya dan nyata
fritz_haryadi: tapi itu seharusnya tidak menghalangi mereka yang punya niat utk menyeberang
fritz_haryadi: masalahnya hanya niat
yermi_kr: skali lg, bukan tugas blogger
fritz_haryadi: manja lagi
fritz_haryadi: terus pemerintah harus ambil satu persatu post bermutu utk dipaksa muat di koran?
fritz_haryadi: i-net baru bisa berfungsi penuh kalo sudah ada jembatan yang menghubungkan dengan dunia nyata
yermi_kr: terserah
fritz_haryadi: sehingga level coverage-nya tidak berat sebelah
yermi_kr: memang ada gap IT yg lebar
fritz_haryadi: dan itu diawali dari orang-orang yagn terlibat didalamnya sendiri
fritz_haryadi: kalo ada yang gak bener, silakan post & komen sebanyak2nya
fritz_haryadi: tapi setelah itu berusahalah utk go publik dengan post itu
fritz_haryadi: lain ceritanya kalo sudah dicoba berkali2 dan gagal.
fritz_haryadi: tapi sa pesimis kalo sudah ada yang mencoba
yermi_kr: nanti sa sampaikan ke mereka 😉
fritz_haryadi: kapan2 kalo su pu blog sa bakal pertimbangkan utk tuangkan ke post
fritz_haryadi: tapi sa bakal tulis ttg fenomena yagn lebih besar lagi :
yermi_kr: sa malah su terpikir tuk posting percakapan ini skarang
fritz_haryadi: posting saja
…
(lanjut ke topik lain)
Begitulah saudara-saudara. Silahkan dikomentari kalo punya pencerahan lain…
PS:
- Tuk Goen Lee dan Kopral geddoe yang namanya terbawa-bawa; jangan marah yaa…
- Karena berdebat, sering ada kalimat Fritz yang terpotong oleh kalimat saya atau sebaliknya. Harap maklum.
- UPDATE: Karena memakai bahasa sehari-hari disini (Jayapura), berikut ini arti dari kata-kata yang mungkin kurang familiar: sa=saya; ko=kamu; su=sudah; pu=punya; tra=tidak; SPP=Suara Perempuan Papua (Tabloid lokal).
*agak pusing bacanya*
Di situ nyelip bahasa daerah apa sih? 😕
Jadi intinya, blogger (atau lebih tepatnya, tulisan2 di blog) itu diminta tampil lebih nyata di masyarakat yang lebih luas, begitu? Saya sebenarnya juga sependapat sama lawan bicara anda (tapi gak ikut2an soal ‘tak bertanggungjawab’ dan ‘tak punya toleransi’ itu lho); sayang kalau tulisan2 mereka cuma bisa dinikmati maksimal 20 juta pengguna internet Indonesia (CMIIW with the statistics).
Saya pernah
berencanabermimpi untuk membuat sebuah majalah GRATIS yang isinya kompilasi dari tulisan-tulisan terbaik di ranah blogosfir Indonesia. Tapi saya mikir2 lagi. Kalau saya mau memproduksinya secara indie, jangkauan pembacanya malah jauh lebih kecil daripada internet… ditambah kesulitan distribusi ke pelosok2 negeri. Belum lagi konten blog-nya yang, IMHO, kebanyakan hanya bisa sepenuhnya dinikmati oleh demografi yang sejak awal sudah melek (dan punya akses) internet.Entah, mungkin saya yang terlalu pesimis. Mungkin jalan paling realistis untuk go public di saat ini memang adalah menembus coverage wartawan dan editor media arus utama seperti yang dilakukan Roy Suryo. Coba tanyakan pada ndoro kakung atau paman tyo yang orang-orang media, mungkin mereka bisa memberikan solusi yang lebih baik untuk hal ini. Kolom khusus yang diisi blogger di harian/mingguan Tempo, mungkin?
Tapi kalau dipikir-pikir lagi, Roy Suryo juga awalnya bisa dilirik media karena berkubang dalam kontroversi yang sebenarnya kekanak2an dan gak newsworthy; sensational journalism at its best. Kalau blogger mau mengikuti jejaknya demi dapet panggung di media massa, nanti malah semakin dituduh kalau blogger tidak bertanggung jawab, pengacau bangsa, dan cari sensasi doang. 😛
Btw, kompas sekarang bikin journalist blog network di kompasiana.com . Satu langkah bagi blogger ke alam nyata?
Dan sebuah pertanyaan untuk rekan anda Fritz Haryadi (yang sulit saya temukan jawabannya di antara belantara chat log itu, maaf): Bisa jelaskan solusi konkrit anda (misalnya seperti majalah gratis yang saya impikan di atas), bagaimana blogger/tulisannya sebaiknya go public?
Sebenarnya, wacana blogger masuk koran udah dibahas dan dicoba dari zaman lamaaaaa banget, tapi ada beberapa masalah utama, yaitu:
1. Banyak blogger kurang suka publisitas media, mereka menulis karena memang suka berbagi pemikiran bukan berarti ikut suka dikenal banyak orang juga;
2. Di media konvensional karena ada slot tayang TV atau kolom maka tulisan yang masuk akan diseleksi, beda ama blog yang tinggal pencet publish;
3. Tidak semua blogger itu punya waktu banyak karena mereka juga memiliki pekerjaan utama.
Selain itu, blogger rata2 menulis apapun yang mereka suka karena itu sulit untuk dimuat di koran yang mengandalkan oplah sehingga memerlukan berita yang menarik sehingga dibeli orang atau dipasangi iklan.
@ Catshade
sa = saya
ko = kamu
su = sudah
pu = punya
tra = tidak
Apa lagi yang mbingungkan, masbro? Maaf, lupa memberikan penjelasan diatas.
Itu bahasa percakapan anak2 Papua. 😛
@Catshade
Karena kendala pengenalan lokasi, solusi yang 100% konkrit mungkin belum bisa datang dari saya. Kalo kita sama-sama berada di kota saya, saya bisa berikan beberapa nomor kontak yang mungkin bisa membantu.
But I can say this much, secara keroyokan atau one-man-show, gunakan segenap kemampuan dan koneksi yang anda miliki. Production House, news media, kelompok teater, grup lawak, you name it.
Yang paling mendekati realisasi sebenarnya bukan dengan berusaha mempublikasikan mentah-mentah keseluruhan post, tapi dengan mencari topik yang newsworthy, menyaring ide dasar, kemudian dituang ke dalam media dan format yang lebih ringkas, praktis dan (mungkin) komersil.
Untuk topik, dalam konteks obrolan saya dengan si Yer… eh Jensen, saya rasa fenomena banyaknya referensi alternatif untuk Roy Suryo dan tidak layaknya dia menjadi satu-satunya sumber referensi Telematika & general IT, itu cukup newsworthy.
Ide dadakan: Cari akses ke serial iklan “Tanya Kenapa” dan sumbang ide, atau gaet PH milik teman (kalo ada) utk bikin program serupa dan tawarkan ke media-media yang relevan.
“I don’t give a shit how you do it, you just fuckin’ get up and start doin’ it.” 😀
*kabur sebelum ditimpuk*
*balik lagi endap2 lewat dapur*
Ada liputan transTV yang saya tidak pernah tonton, tapi sangat menggugah waktu diceritakan ke saya oleh seorang teman. Tentang kelompok guru-guru sekolah bernama “tetes airmata guru” yang selama beberapa minggu (atau bulan? 🙄 ) menjelang, during dan paska UAN 2007 merekam segala aksi penggembosan soal dan jawaban UAN di sekolah-sekolah di kota mereka (somewhere in Kalimantan) dengan bermodalkan voice-recorder dan kamera HP. Di tengah tekanan moril dan fisik dari berbagai pihak, mereka merangsek maju dan berhasil mengantarkan hasil kerja mereka ke transTV.
Memang sih, ini contoh yang kurang compatible dengan topik kita, karena di mata media nilai berita mereka memang lebih tinggi daripada tulisan-tulisan blogger pada umumnya. Tapi setidaknya ini bisa jadi motivasi. Guru-guru gaptek di kota kecil saja bisa menembus media. Padahal mereka punya musuh yang nyata : Dinas Pendidikan setempat.
*menerawang terharu sambil berlinang air
manimata*Nenda Fadhilah
With great power comes great responsibility
.
Kalo gak suka dikenal, pake saja nama saya 😎 .
Yang kita bicarakan kan bukan i-net vs mass-media sebagai dua pilihan terpisah yang harus ditekuni salah satu saja dengan meninggalkan yang lain.
Memang blog lebih mudah, lebih praktis, tapi coverage-nya kan terbatas.
Terus apa perlunya, you’d ask, mencari coverage lebih luas?
Well, buah pikiran yang melibatkan isu selebriti, widely-accepted concepts-beliefs-hoax-or-whatever dan hajat hidup orang banyak, amat sayang kalau hanya dibincangkan dalam kalangan tertutup saja.
Orang banyak berhak tau kalau ada yang berusaha menipu atau misleading mereka.
Yang paling sederhana saja, email post-post yang topiknya menyentuh hal-hal diatas ke media. Kalau mereka tertarik, bagus. Kalau tidak, paling tidak kalian sudah berusaha.
Kalau ada lagi yang sok pahlawan omong gede kaya saya, jawab saja “saya sudah berusaha, ini buktinya”. Beres.
Will you quit pointing fingers to everyone else around you and start making excuses that represent yourself?
jangan lupa juga ada blogger yang ‘what the hell, I write what I want to write’ dan tidak
terlalupeduli dengan hal-hal lain (i.e. ‘dunia nyata’, ‘coverage’, dsb) tersebut. IMO mungkin bukan cuma soal ‘tanggungjawab’, tapi juga ‘hak’.mungkin mereka memang punya ide brilian (some of them really do), tapi kalau mereka sendiri tidak memandangnya sebagai ‘tanggung jawab sosial’, ya memang itu bukan ‘tanggung jawab’ kok. bukankah tulisan adalah hak milik dari penulisnya?
IMHO ini bukan soal ‘I have some thought here, let’s have everyone knows about it’ (kalau begitu ekspos ke media dan ‘dunia nyata’ jadi hal yang relevan). AFAIK, hal ini lebih ke arah ‘I have some thought here, read it if you want, I don’t give a damn otherwise’.
mungkin soal mentalitas, sih. bukan mentalitas ‘pemberani’ (kalau parameternya tampil di media yang kredibel) atau ‘pengecut’ (kalau parameternya tampil ala blogger anonim), tapi lebih ke arah mentalitas ‘I write what I want, judge it as you want’. kalau begini, konteks ‘tanggung jawab sosial’ juga jadi void. lha, kalau yang menulis saja nggak peduli, orang lain bisa bilang apa?
~just my 2 cents
so what is your excuse? not living in jakarta?
tapi sebelum lanjut, do you really know roy suryo? have you ever met him? have you ever had a direct dialogue with him? or is it your opinion about him based solely on hearsay?
kalau berharap komentar atau pendapat seseorang (siapapun dia, nggak harus blogger), apakah harus orang tersebut yang bikin press conference, nraktir wartawan, dan seterusnya, atau merupakan tanggung jawab profesi maupun etika moral dari para jurnalis?
bagaimana jika memang orangnya sudah patah arang dengan pers? yang memberikan gelar pakar kepada roy suryo itu siapa sih? lalu kenapa pihak lain (non-pers) yang harus bersusah-payah mengoreksi gelar tersebut?
lagipula, tanggung jawab seorang blogger, ataupun kalau mau diperluas, tanggung jawab seorang penulis (apapun itu, apakah blog, berita, buku, skenario) adalah bisa mempertanggung-jawabkan tulisannya sendiri. ini tentu tidak berlaku bagi para penulis copy-paste atau tukang forward berita (hoax). siapa yang membuat roy suryo terkenal? blogger-kah? tentu saja tidak, karena anda sudah klaim blog/internet cuma bisa diakses oleh sedikit orang indonesia. lalu, tanggung jawab siapa dong? harusnya sudah bisa terjawab sendiri ya.
Ah, saya ingat ada ryosaeba dan priyadi, dua orang yang sudah berani menantang roy suryo di depan publik. Kalau dua orang yang segalak dan sevokal itu saja (ini sebenarnya kombinasi bagus buat wartawan pencari sensasi) diacuhkan oleh media arus utama, saya rasa kecil kemungkinannya blogger murni lain (bukan seleb/tokoh publik yang kemudian ngeblog) bisa ditanggap media dengan serius.
Yah, mungkin kecuali si blogger itu bikin kontroversi ala roy suryo seperti penemuan lagu tiga stanza atau foto bugil palsu. Tapi rasanya bukan ‘tanggungjawab blogger’ seperti itu yang anda maksudkan… Pembongkaran hoax? Saya kira itu tidak newsworthy, setidaknya kalau melihat selama ini hoax-nya sendiri sangat jarang begitu mewabah dan ‘berdampak’ sampai-sampai perlu diberitakan di media massa.
…kalau sudah begini, berarti orang yang melakukannya sudah berstatus sebagai wartawan/pekerja media dong, bukan blogger lagi (karena mediumnya sudah gak ada sangkut-paut sama sekali dengan blog). Berarti masih pas-kah aktivitas itu dikatakan sebagai ‘bentuk pertanggungjawaban blogger’? 😕
saya ingin blog saya jadi buku seperti blog kambing jantan … MIMPI mode ON 🙂
bos…bos…tolong dikasi jeda baris donk antar id-nya 😀 agak mumet nih. id yang sama nggak usah dikasih jeda, tapi kalo di bawahnya udah beda id mbok tulung dikasih jeda, hohoho
tentang tanggung jawab sendiri, saya lumayan bertanggung jawab lho. minimalnya saya nyepam via ym kalo punya postingan baru yang (menurut saya) penting dibaca sama orang lain. cuma kalo memang harus menyadarkan masyarakat indonesia buat berinternet secara ‘pinter’, well, rasanya nggak bisa secepat itu; memang harus pelan2 dan nggak bisa dipaksakan cepat. di ilkomp ugm aja ternyata masih banyak temen2 saya yang gaptek dan gapsos, yang kuliahnya cuma waton bisa lulus cepet. karena itu marilah kita berjuang bersama dengan sama2 nyepam kalo punya tulisan baru
tapi jujur saya akui, saya ini egois. saya nulis sesuka saya, nggak mandang perasaan obyek tulisan saya dan tata krama, soale niatnya memang ngeblog buat misuhin apa yang mungkin nggak pantas untuk saya pisuhin terang2an di dunia nyata 😀
@Fritzter
Sebelumnya salam kenal dulu ya Mas 🙂
dan juga minta maaf sebelumnya kalau ada yang salah dalam komentar saya.
Gini, saya melihat dari chatting Mas Fritzer dengan Mas Jensen, ada beberapa yang saya ragukan:
Ada yang salah dengan berbagi cerita?
Saya tidak yakin apa mereka (blogger seperti Geddoe dan Gun) itu menulis dengan dilandasi semangat ingin didengar. Menurut saya, mereka menulis hanya karena ingin menulis (perlu diklarifikasi lebih lanjut). Kalo saya dulu sih cuma ikut temen-temen
Sudah ada yang komen tentang ini ya 😛
Setahu saya blogger belum tentu profesi, walaupun bisa juga menjadi demikian.
Waktu apa ya? Waktu sampainya ke redaksi kah? Menurut saya kita juga harus mempertimbangkan space halaman (untuk majalah) dan rentang tayang (untuk TV). Tidak semua komentar bisa masuk, seperti surat pembaca yang tidak semuanya bisa dituliskan CMIIW, saya awam dengan dunia media massa. Tapi sepertinya sudah Mas singgung di komennya kepada Nenda, “saya sudah berusaha, ini buktinya”.
Banyak = ? IMO nggak bisa digeneralisasi gitu, karena ada juga yang nggak, misalnya karena pingin nulis saja tanpa peduli ada yang baca atau tidak. Kalau nulis tanpa ketahuan orang banyak, mending nulis di buku pribadi saja. Kalau di blog resiko dibaca orang lain lebih besar 😛
Tapi saya setuju dengan Mas Fritzter, kalo hanya berharap pada pemerintah, ga akan cepat selesai.
Oh ya, Mas bisa mengunjungi blognya Geddoe di sini, yang jugalagi membahas topik ini.
@Catshade
Hoax yang mewabah? Kan dulu ada SIM Card setan, SMS santet, dll…
@yud1
Hak untuk lempar batu sembunyi tangan?
Bisa bilang “You start caring, goddamnit!! 👿 ” seperti saya 😀 .
yohooo…permohonan saya dikabulkan 😀
@ryosaeba
Damn I’ve always wanted to use that username, but someone else has already used it… 😥
So it’s youuuuuu??!! 👿
Salam kenal. Minta link donlot scanlation CH yang full 35 vol. dong 😀
…………
Ehmm..
*membenarkan kerah baju*
to business…
Yes. More exact: living in the most deprived province-capital in the country. And it does represent myself. I don’t represent several thousand other dumbasses in my city.
No. No. No. (Can’t afford to – based on the above excuse). Yes (The most affordable option of the above four) 😀 .
Ya, memang begitu kenyataannya. Orang Jayapura saja tau 😀 .
Karena yang harus bersusah-payah mengoreksi adalah pihak yang tidak rela dengan gelar pakar itu. Such is life.
Tapi saya baca dari Catshade katanya sampeyan dan mas Priyadi sudah pernah blak-blakan nantang RS ya? Nah mas berdua ini Jensen gagal ngasih tau ke saya di YM!!
TWO – THUMBS – UP, maaaaaaan!!! 😉
Sepakat.
Bagaimana kalo pers taunya cuma itu? Kalo sepanjang pengetahuan mereka cuman RS yang pakar? Kalau kenyataannya beda dengan yang diberitakan, siapa yang bertanggung jawab mengoreksi? Ya setiap orang yang tau. Sederhana saja.
Gak senang orang ngetop karena tau bahwa dia gak berhak/layak ngetop, ya ngomonglah. Kalo prosedur “ngomong” itu terlalu merepotkan, ya apa boleh buat, terima saja kebohongan itu. Such is choice.
Tapi sampeyan dan mas Priyadi kan gak gitu, dan sudah membuat pilihan yang benar. Jadi sekali lagi TWO-THUMBS-UP!!
@joesatch yang legendaris
Sepakat.
Mari kita tingkatkan level kepantasan topik yang tidak pantas utk dimisuhin terang2an di dunia nyata 😈
Tingkatkan standar!!
Majukan bangsa!!
Ayo golput!!
*obsesi orator belum sembuh walau sudah pindah ke Marlboro*
lambrtz
Salam kenal juga :
Gak ada, selama belum ada pilihan lain yang lebih berguna.
TVRI juga pilihan terbaik sebelum ada RCTI 😆
Ya, sudah ada 🙂
Profesi, hobi, status, whatever. Yang jelas “sesuatu yang ditekuni, yang proses maupun hasilnya mempengaruhi serta menimbulkan dampak-dampak tertentu kepada pihak lain”.
Ya sudah disinggung 🙂 .
*nyari-nyari smiley untuk “tos”*
Mau beli rokok dulu 😉
Setujuuuu!!
Ada lagi tuh, rekaman “manusia duyung” mengerikan, dengan sound latar belakang pengajian, yang judulnya “durhaka”.
Waduh mengganggu sekali itu (susah yakinkan diri kalau itu cuma kostum), soale saya juga sering durhaka 😉
*akhirnya bisa keluar beli rokok*
Btw, Bung Fritzer, anda saya lihat begitu antusias untuk mengajak blogger lebih ‘bertanggung jawab’ dan lebih, euh, ‘tampil di dunia nyata’… tapi anda sendiri bukan seorang blogger. Ya, saya tahu kalau tidak butuh seorang koki untuk bisa bilang sebuah telur itu busuk, tapi… cobalah ngeblog beberapa saat dulu. Cobalah blogwalking lebih banyak, siapa tahu ada pemahaman baru mengenai blog yang bisa memperluas khazanah anda.
Bagaimana kalau pers mau tahunya cuma yang itu?
Setahu saya, salah satu syarat utama untuk direferensikan sebagai narasumber, selain ‘kompetensi’, adalah ‘familiaritas’ dan ‘aksesibilitas’; semakin bisa dikenali nama anda oleh konsumen berita, semakin mudah mendapat informasi dari mulut anda, semakin bagus bagi wartawan.
Roy Suryo sampai bisa laris karena beberapa hal: pendekatannya terhadap wartawan (sms massal, bikin konferensi pers), rajin mengiklankan diri di media, pemilihan kontroversi yang menjual untuk dikomentari, dan tentu ditambah gelarnya (plus predikat “pakar telematika”) yang tampak mentereng.
Dia sudah pegang itu, dan wartawan akan berduyun2 ke dia; mungkin tidak semua wartawan sesungguhnya menganggap dia kompeten, tapi dialah yang membuat berita makin top dan diperhatikan pemirsa. Who needs boring intellectuals like Romi Satria Wahono or Onno W. Purbo? Pfft!
Jadi, kalaupun ada blogger yang mau menantang RS di media massa dengan level bermain yang sama (ryosaeba dan priyadi, sadly, belum sampe sana), harus membangun citra terlebih dahulu (dan itu butuh waktu dan usaha lama) sama seperti yang telah dilakukan RS selama ini; gak bisa ujug2 bikin konferensi pers atau dateng ke kantor redaksi dan minta diliput. Yeee, emang siapa elu??! 😛
Makasih banyak tuk semua yang dah komentar: masbro Catshade, yud1, ryosaeba, joesatch & lambrtz; juga tuk mbak Nenda dan Rindu.
Fritz, yang punya masalah, sudah membalas semua komen yang berkaitan, silahkan kalo mau ditanggapi lagi.
Makasih juga buat Kopral geddoe yang posting di blognya sana.
Saya tidak akan menambahkan apa2 lagi, karena memang tidak mempermasalahkan apa2.
*sudah sore*
*seduh teh*
*bikin roti isi keju*
*menunggu*
@ fritzter
He, meskipun dah stahun di blogsfer, saya kan gak tau/hafal semua postingan yang ada, walopun tentang topik populer seperti Oi Uyo sekalipun.
dan juga blum pernah sekalipun mampir ke blog mas ryosaeba & priyadi… 🙄
Ah, kelamaan ngetik. Dah keduluan reply-nya Catshade 😛
*minum teh*
lha, yang mau melempar batu itu siapa?
tanggung jawab penulis, ya mempertahankan akurasi dan kebenaran dari tulisannya. sisanya, pembaca blog yang menilai. mau dikomentari atau malah dibikin post tandingan juga bisa. kalau ada yang melempar batu, ya paling dilempari balik — mau lewat komentar, post tandingan, atau malah blog tandingan.
kalau medianya blog, orang bisa memilih mana yang menurut mereka benar dan layak diikuti, dengan cara yang lebih cepat dan lebih murah daripada media konvensional. (hampir) selalu ada countermeasure untuk ide-ide yang kontroversial… dengan cara yang sama mudahnya dan sama gampangnya dengan sang ‘pelempar batu’.
sisanya, tentu tinggal kecerdasan pembaca untuk menentukan mana yang akan mereka ikuti. kalau berani menulis, ya harus siap dikritik dan di-challenge. seperti post ini, misalnya, ditanggapi dengan post di tempatnya Geddoe.
but, but… you don’t have the right to be ordering me around!
been there. done that.
gue pernah komplain langsung ke menkominfo. dari sejak sofyan djalil sampai m. nuh. masih ada rekamannya di youtube (my very own personal production house) tuh.
saya pernah diskusi informal dengan para wartawan. dan lagi-lagi ketemu tembok yang sama. NEWSWORTHY.
tahukah anda, agar bisa menjadi narasumber di sebuah berita, anda akan otomatis diberikan gelar pakar oleh pemberitaan tersebut? anything less, then it’s not newsworthy.
gelar “pakar” buat yang masih waras adalah sebuah gelar yang lumayan berat pertanggung-jawabannya. not something to be taken lightly. ketika harus memilih apakah bersedia menjadi pakar atau tetap waras, saya memilih untuk tetap waras.
saya bahkan mencarikan orang yang memang popularitas adalah tujuan hidupnya, agar bisa menjadi pilihan soal newsworthy. ibaratnya, saya sampai terpaksa memilih the lesser of two evils. this is yet to be seen though. semuanya tergantung pada jurnalis, yang saya sangat maklumi, lebih memilih berita yang newsworthy karena itu adalah periuk nasi mereka.
i’ve done my share of “susah payah”. bukan berarti pendapat anda tidak benar, saya sendiri juga tidak suka pada blog yang isinya cuma murni menghujat tanpa mengajukan argumen logis. kalau hal ini saya sepakat bahwa ini tidak bertanggung-jawab, tapi ya yang model seperti beginian juga sepertinya malah lebih bagus kalau tidak sampai ditulis di pemberitaan atau dilanjutkan ke production house, ini bakalan cuma jadi sensasionalism.
Haduh, RS lagih.
*gelar tikar aja deh*
Btw, Mas Jensen punya blog toh.
@ gentole
Belum sampai sebulan, kok… 😛
@Catshade
Semua itu usaha yang patut dihargai kan? Jelas yang dia dapatkan bukan instan. Sounds to me like he earns it.
Don’t you think he deserves some credit more than blasphemy?
Nah, tuh sudah tau susahnya mencapai apa yang dia capai. Layakkah dia diremehkan?
@yud1
Supaya gak makin melebar. Entar nih blog kelamaan di BOTD 😀

Padahal copy-paste neeehhI’m not ordering you around ’cause I have the right to; I’m doing it ’cause I can. 😀
Egois yah 😆
Masih belajar ngeblog, jadi perlu belajar egois juga 😆 😆
@ryosaeba
I know, I know.
You’re the man. You’re the man.
It’s the effort that counts. At least you tried, not only watch others die trying and then decide not to try.
yang ini gimana??
@ fritzter
Fritz, komen tentang bola kaki saya hapus ya? OOT tuh. 😉
wah, saya bukan penggemar scanlation. saya nggak punya satupun scanlation. 35 jilid cityhunter itu saya memang punya komik benerannya.
@ryosaeba
bummer…. 🙄
Aphwaaaaa??? Kampanye Milan yang agung dihapusssss???
Forza Milaaaannn!!!
😆
😀 😈
*lovin’ it*
@fritzter
Saya setuju dengan komen Catshade
Soalnya saya adala newbie di dunia blog, dulunya saya lebih suka masukin tulisan di majalah sekolah (jaman SMA), koran kampus (yang sekarang lagi ga jelas nasibnya), or media lokal. Tapi semua itu emang lebih sulit daripada nge-blog coz terlalu banyak aturan-aturan dalam jurnalistik media itu sendiri. Setelah saya coba nge-blog saya jadi bisa lebih leluasa menuli apa yang saya mau. yah seperti kata yud1
setidaknya tidak perlu memikirkan tentang kode etik jurnalisme itu sendiri. Yang penting kita bisa mempertanggungjawabkan apa yang kita tulis, yah setidaknya tidak membuat orang yang ngebaca tulisan kita tersesat, itu aja sih tujuannya.
Masalah apakah bakal ada yang mendengar atau tidak itu urusan lain dan tidak akan banyak mempengaruhi minat saya menulis, apakah itu di blog ataupun media lain.
Saya adalah orang yang menganut istilah “Not perfect is good” (ngambil dari bleach). Kesempurnaan hanya milik Allah.
@ fritzter
(Courtesy of Sora-kun)
There you have it™… 😉
Btw, bung Fritz, ini ekspos media terakhir mengenai Roy Suryo kita. Oh, and yes: He clearly earned and deserved it. 😀
Quote lagi, quote lagi.
There I have what ?
Opinion that’s not mine ?
Forza Milaaaaannnn!!!
😆
😈
*obnoxious mode on*
@Catshade
Ya iyalah namanya juga dunia nyata. Resiko pasti ada.
Enakan ngegosip di blog aja, gak ada resikonya 😆
RS lagi, RS lagi. Kenapa harus doski mulu?
PS: Salam kenal buat jensen99. Halu.
…nor yours?
😆
@Marisa
Baru dari rumah kopral ya?
Sebenarnya topik disana tuh saduran dari sini 😀 .
Kalo ndak salah dulu ryosaeba atau priyadi hampir dituntut RS gara2 kevokalan mereka mengkritik sang pakar. Sementara itu Herman Saksono juga pernah diperiksa polisi atas konten blognya yang dituduh menghina kepala negara. Jadi secara historis kurang tepat juga bilang ngegosip di blog itu gak ada risiko. Plus, di blog ini juga dibahas risiko2 hukum yang mungkin menimpa blogger akibat tulisannya, jadi…yeah, risks are everywhere in the blogosphere. 8)
@ fritzter
*tabur garam*
@ Marisa
Lha? Nyampai juga disini…
Salam kenal balik, Marisa. 😀 Makasih dah mampir…
@Catshade
Hmm? Begitu ya…
Well, still, it’s not like you guys are the priority targets out there.
Anyway, I recognize now that you do have potential risk too, although I still think you don’t get targeted until you reach an equally wide coverage in the material world as you have in the net.
(i.e. you’re not considered a threat until you are seen as one who has equal coverage both outside and inside the net)
That’s just a thought of course
.
Wewww….
Segitukah untuk menjadi seorang blogger? Wah…haknya jabarin juga dunkzz.
@ fantasticdreams5
Sudah baca diskusi paralel di entry-nya geddoe kan? Saya kutipkan saja pendapat beliau:
Atau menurut yud1 diatas:
Bahasa saya ya sama saja; hak seorang blogger adalah boleh nulis semaunya. Titik. 😉
Ada juga yang nanya soal hak. Saya gak pernah ingat kalo topiknya ngomongin hak. Judulnya aja jelas: tanggung jawab Blogger.
Kenapa yang diomongin “tanggung jawab”? Ya karena haknya dah jelas dan gak perlu lagi ditanyain. Ngapain lagi pake dijabarin. 🙄
Hihihihii agak bingung sedikit..tapi ini pencerahan untuk blogger newbi seperti saya mas 😀