Papua, sekilas masalah

Sabtu, 15 September 2011 jam 08:33 pagi, sebuah FaceBook message masuk dari teman saya Zeph Siddarth:

Seorang teman yang baru pulang dari Papua bercerita, bahwa kesenjangan antara penduduk asli dan pendatang itu memang ada, bahwa kesenjangan pembangunan antara Papua dan pusat (Jakarta) itu memang sangat mencolok, bahwa sebagian besar hasil sumber daya alam memang untuk “Jakarta”, bahwa ada memang pejabat di Papua yang lebih suka “kunjungan” ke Jakarta daripada “mengurus” keadaan Papua, sehingga “dirasa wajarlah” ketika teriakan untuk merdeka itu masih ada, konon kata teman saya itu, salah satu faktor yang mempengaruhi adalah pola penjajah.

Satu pendapat dari Acemoglu adalah perbedaan dari siapa penjajah mereka dan bagaimana mereka menjajah. Tapi pertanyaannya lagi adalah, mengapa para penjajah bisa berbeda memperlakukan wilayah jajahannya. Jawaban Acemoglu adalah malaria. Wilayah dengan tingkat malaria tinggi membuat penjajah tidak nyaman membangun peradaban di sana, mereka lebih memilih eksploitasi sumber daya alam dan kemudian pergi. itulah yang membedakan jajahan Inggris di Asia dengan jajahan Belgia di Afrika.

Mengapa Papua jauh tertinggal ketimbang wilayah bekas jajahan Belanda lainnya di nusantara. Ketika Belanda membangun kota dan sistem pemerintahan yang mapan terutama di Jawa dan Sumatera sementara di Papua, Belanda hanyalah menjadi rampok di malam hari. Tentu saja alasannya adalah malaria.

Seorang teman bercerita jika di Jawa dulu Belanda masih mau mengajarkan banyak hal, sementara di Papua, Belanda setiap pagi memberikan susu dan roti kepada penduduk setelah mengambil hasil alam mereka.

Dan sebagai orang yang tinggal dan hidup di Papua, apa opini Bang Jensen menaggapi hal tersebut. Terima kasih sebelumnya ^.^

Ah, pertanyaan yang menarik. Kalau dipendekkan saja masalahnya jadi bagaimana ini ya? Ketika Belanda menjajah Papua mereka tidak membangun karena faktor malaria, lalu.. ketika Indonesia menjajah menganeksasi Papua mereka juga ikut-ikutan tidak membangun karena malaria? Sehingga orang Papua yang tidak puas dengan keadaan ini kemudia minta merdeka. Begitu? 😕


Dari pengalaman dan pengetahuan saya tentang Papua, faktor malaria ini hal yang baru pernah saya dengar. Berdasarkan paper Constructing Papuan Nationalism: History, Ethnicity, and Adaptation, aspirasi bangsa Papua untuk merdeka merupakan manifestasi dari gerakan nasionalisme Papua yang tumbuh dan berkembang dari faktor-faktor sejarah berikut ini:
1. Sejarah integrasi Papua ke dalam Indonesia. Ini adalah topik menarik tentang gagalnya proses dekolonisasi Papua oleh Belanda. Indonesia, dengan semangat anti kolonialismenya di satu pihak, berpendapat bahwa wilayah mereka haruslah terdiri dari seluruh bekas jajahan Belanda di Nusantara (Hindia-Belanda), sehingga harus termasuk Papua. Papua, di lain pihak, berpendapat bahwa mereka sudah merdeka sejak 1 Desember 1961 ketika bendera Bintang Kejora berkibar diiringi lagu kebangsaan Hai Tanahku Papua. Selebihnya dari sini adalah Operasi Trikora yang (versi Indonesianya) sudah kita pelajari bersama di bangku sekolah, nantinya berujung pada aneksasi Papua oleh Indonesia. Perjanjian New York pada tahun 1962 antara Belanda dan Indonesia dibawah pengawasan PBB dan AS yang menyetujui pengalihan kekuasaan di Papua kepada Indonesia, jelas menunjukkan bahwa dalam penentuan nasib tanah mereka, orang Papua hanya menjadi obyek, dan bukan partisipan. Masalah partisipasi ini kemudian dicoba dijustifikasi Indonesia dengan mengadakan Pepera 1969 yang oleh banyak pihak disebut cacat hukum dan penuh rekayasa.
2. Sejarah administrasi Papua. Sejak sebelum kedatangan Jepang, banyak posisi administrasi di Hindia-Belanda sudah diisi oleh orang-orang lokal, sementara di Papua yang begitu terbelakang, semua administrasi tetap dipegang oleh orang-orang Belanda. Ketika KMB 1949 menghasilkan pengakuan kedaulatan bagi Indonesia, pihak Belanda mulai berusaha mengejar ketertinggalan di Papua dengan menyiapkan banyak tenaga lokal untuk mengurusi administrasi sipil dan banyak urusan lain. Sayangnya, ketika Indonesia menduduki Papua pada 1963, segala urusan administrasi dan birokrasi di Papua segera diambil alih oleh orang-orang Jakarta. Para birokrat lokal yang tersingkir ini kemudian menjadi angkatan pertama gerakan nasionalisme di Papua yang nantinya memunculkan Organisasi Papua Merdeka dan pemimpin-pemimpin mereka di perantauan.
3. Ketertinggalan Papua secara ekonomi dan ketatausahaan. Disini kita sampai pada poin-poin yang dibicarakan Zeph diatas. Ekspolitasi sumber daya alam secara luar biasa tanpa hasilnya dinikmati oleh orang Papua disertai ketertinggalan dalam segala bidang pembangunan. Seberapa tertinggalnya Papua soal pembangunan seharusnya sudah jadi pengetahuan umum di Indonesia ya? Memang eksploitasi SDA dan ketertinggalan daerah bukan hanya monopoli Papua, tetapi sejarah Papua menjadikan faktor ini sebagai pemicu kuat perasaan berbeda secara identitas antara orang Papua dan orang Indonesia, apalagi (konon) memang orang Indonesia memandang berbeda orang Papua.
4. Perubahan demografi dalam masyarakat Papua. Seperti yang pernah saya singgung sedikit dalam tulisan terdahulu, kehadiran jutaan penduduk migran dari wilayah Indonesia lainnya, baik perantauan, penugasan maupun transmigran, telah membawa perubahan besar bagi komposisi penduduk di Papua beserta segala efek politik, sosial, ekonomi, budaya dan agama yang menyertainya. Hal ini membawa perasaan bahwa penduduk Papua tersingkir dan termarjinalisasi diatas tanah mereka sendiri, dan menimbulkan ketakutan akan kepunahan.
Empat faktor itu sajalah yang saya yakini menjadi sumber masalah di Papua. Kalaupun ada yang mau ditambahkan, saya pikir hanyalah begitu banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer Indonesia, baik untuk tujuan menumpas separatisme maupun untuk melindungi kepentingan bisnis. Sebagai perbandingan bisa dilihat di artikel ini; yang tidak memasukkan poin kedua, tetapi menekankan faktor rasisme dimana penduduk asli Papua kesulitan mendapat tempat dalam bidang ekonomi, sektor pendidikan, birokrasi (PNS) dan menjadi TNI/Polri.

Soal malaria? Tulisan Daron Acemoğlu dkk yang berjudul: Disease and Development in Historical Perspective sayangnya tidak membahas mengenai Papua sebagai studi kasus, walaupun penyakit malaria disini adalah endemik, sehingga saya juga tidak yakin apakah itu termasuk faktor penghambat pembangunan Belanda di Papua atau bukan. Tapi saya mencoba meringkas sendiri sejarah Papua yang saya tahu. Mula-mula kita lihat saja perbedaan situasinya ketika bangsa-bangsa kulit putih datang ke Indonesia, dan ketika pihak yang sama datang ke Papua. Saya tahu bahwa Belanda mebangun banyak hal di Indonesia, tapi sejarah juga menceritakan bahwa sudah ada peradaban di Indonesia jauh sebelum Eropa datang. Ada kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha yang punya hubungan sampai ke China dan India, lalu tumbuh kerajaan-kerajaan Islam dari Aceh hingga Ternate. Ketika Belanda datang, mula-mula sebagai pedagang, lalu kemudian sebagai penjajah, sudah ada sumber daya manusia yang setidaknya bisa mengusahakan hasil bumi untuk (perdagangan) Belanda, mulai dari rempah-rempah di Maluku; gula di Jawa; hingga tembakau di Sumatra. Sementara para raja dan sultan lokal bisa menjadi kepanjangan tangan Belanda untuk mengurus administrasi, terutama di Jawa, Sumatra dan Bali yang daerahnya sudah dijelajahi hingga ke pedalaman. Di sepanjang pesisir Jawa dan Sumatra penuh dengan pelabuhan-pelabuhan besar di jalur-jalur dagang utama antara Asia timur dan Asia selatan/Asia barat/Eropa, yang menjadi kekuatan utama kerajaan-kerajaan lokal plus magnet bagi kolonialis Eropa.

Lalu, ada apa di Papua ketika orang Eropa datang? Tidak ada apa-apa, sama sekali tidak ada apa-apa. Papua hanyalah hutan lebat, yang dipenuhi oleh suku-suku yang tidak ramah, bahkan kanibal. Mereka hidup di jaman batu dan terisolasi dari dunia luar selama ribuan tahun, kecuali di beberapa daerah pesisir dimana Sultan Tidore mengadakan perdagangan budak dan burung Cenderawasih. Bagi pelaut-pelaut Eropa, jangankan masuk ke Papua, mencari lokasi tuk mendarat saja sulit. Belanda mengakui kedaulatan Tidore atas Papua tahun 1660, tapi tidak pernah menginjak Papua. Inggris pernah mencoba membangun pos di dekat Manokwari pada 1793 tetapi gagal, begitu juga dengan usaha Belanda di dekat kaimana tahun 1828. 4 tahun sebelumnya Inggris dan Belanda menyepakati bahwa Papua bagian barat adalah wilayah Belanda. Baru tahun 1855 para penginjil Jerman berhasil mendirikan pos di Mansinam, dekat Manokwari. Pos-pos Belanda sendiri barulah didirikan tahun 1896 untuk mengimbangi aksi serupa oleh Australia yang mengklaim bagian timur dari pulau Papua. Mula-mula di Fak-fak dan Merauke, lalu di Manokwari. Hingga tahun 1930an, selain aktifitas penyebaran injil (pendidikan dasar sebagian besar diselenggarakan oleh misi keagamaan Protestan dan Katolik), hanya ada eksplorasi minyak di daerah kepala burung. Daerah lembah Baliem baru ditemukan Belanda tahun 1938, dan banyak pemukiman lain di pedalaman baru ditemukan sesudah Papua masuk Indonesia. Pun hingga 50 tahun sesudahnya, semua daerah pedalaman masih saja cuma bisa dicapai dengan pesawat udara, kalau tidak dengan perahu menyusuri sungai. Tak ada kerajaan-kerajaan makmur yang menantang tuk ditaklukkan atau tanah vulkanis subur. Dengan kondisi geografis dan peradaban yang seperti itu, saya tak heran kalau Belanda tak pernah bisa banyak membangun di Papua, bahkan seandainyapun tak ada Malaria. Karena itu, menyebut Belanda sebagai rampok di malam hari rasanya kurang tepat. Justru Soeharto dan kroninya yang jadi rampok siang malam. :mrgreen:

Dilain pihak, situasi sebagai negeri yang lebih akhir ditinggalkan Belanda memberikan Belanda banyak kesempatan untuk memperbaiki perlakuan mereka pada daerah jajahan apabila dibanding pada Indonesia dulu. Kebijakan “politik etis gaya baru” ini dapat dilihat pada ungkapan “roti dan susu setiap pagi” diatas. Kala itu, sebagai usaha dekolonisasi Papua sesudah KMB 1949 gagal menentukan nasib Papua, Belanda melakukan pembangunan besar-besaran dalam berbagai bidang di Papua berdasarkan ketetapan Ratu Belanda tanggal 27 Desember 1949 yang disebut Besluit Bewindsregeling Nieuw Guinea sebagai persiapan menghadapi sengketa dengan Indonesia. Sebagai hasilnya, memasuki tahun 1960an standar hidup di Papua menjadi tinggi. Mengutip buku Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka oleh J.R.G. Djopari:

Bagi orang Irian barat yang memang memasuki perekonomian modern dan ditambah lagi dengan pemberian subsidi yangbesar oleh pemerintah Belanda, upah dan gaji mereka sangat tinggi dibandingkan dengan penduduk di kota-kota besar lainnya di Indonesia. Menurut peraturan gaji tahun 1957, seorang pelaut mendapat upah $42 sebulan, pekerja kasar/buruh $50, calon pegawai $57, guru sekolah dasar $65 dan guru berijazah $124. Karena biaya import yang rendah serta pengangkutan yang teratur dan bersubsidi, di kota-kota harga barang-barang dagangan import relatif lebih rendah dan dapat dijangkau oleh daya beli masyarakat.

Karena itu tidaklah mengherankan di kalangan generasi tua Papua, mereka mengenang jaman Belanda sebagai jaman yang paling enak. The good old times. 😉

Tapi cerita-cerita soal Papua sejak jaman Belanda hingga Indonesia tentu tidak lengkap tanpa menyinggung satu kalimat yang terselip pada pertanyaan Zeph:

bahwa ada memang pejabat di Papua yang lebih suka “kunjungan” ke Jakarta daripada “mengurus” keadaan Papua,

Oh, jujur saja, itu Gubernur kami yang terakhir, Barnabas Suebu. Kabarnya beliau memang pengurus pusat partai Golkar sehingga harus rajin ke di Jakarta. Kalo pejabat-pejabat dibawahnya juga mengikuti jejak beliau, ya siapa yang salah? :mrgreen:
Ya, cerita Papua dan Belanda sudah menjadi dongeng “the good old times“; sementara cerita Papua versus Indonesia (dan nasionalisme Papua) secara nyata hanyalah perjuangan sebagian golongan di Papua saja, yang tidak melihat penyelesaian masalah-masalah Papua di dalam bingkai RI (seberapa besar golongan ini secara persentase, tidak diketahui karena belum pernah ada referendum); apa yang digambarkan oleh kutipan diatas justru merupakan masalah yang paling krusial dan mendesak sekarang ini: cerita Papua tipu Papua. Cerita yang sudah 10 tahun berjalan sejak era otonomi khusus, dimana semua sektor lokal pemegang kebijakan dan kekuasaan diduduki oleh orang Papua sendiri, disertai limpahan dana yang luar biasa besar untuk mengejar ketertinggalan. Cerita tentang para elit politik Papua yang mengabaikan (atau mengorbankan) rakyat demi kepentingan pribadi dan golongan. Cerita para kepala daerah dan lingkaran birokratnya yang sangat korup, tidak ketinggalan anggota dewan yang seharusnya mengawasi mereka; Cerita tentang ramainya pemekaran wilayah dari Provinsi hingga kampung, tuk menampung aspirasi para elit dan golongan yang tidak kebagian kursi dan guyuran duit; Cerita tentang MRP, simbol kultural orang Papua yang dipecah; Cerita mereka yang peduli pada bangsanya sendiri, dan lebih sering turut dicap separatis; Cerita tentang Jakarta yang mengabulkan apapun juga keinginan para elit Papua, selama kepentingan mereka terjaga; dan cerita tentang rakyat yang lebih banyak menuntut merdeka daripada mengoreksi pemimpin mereka. Pada akhirnya, hanya sebuah perulangan sejarah ketika rakyat Papua dijajah oleh elit politik dan birokratnya sendiri. Sayang sekali, mengingat dana Otsus hanya tinggal 15 tahun lagi. 😉

Akhir kata, Zeph, itu saja dulu ocehan saya. Jelas banyak kekurangannya, tapi semoga memuaskan. 😉

*gambar diambil dari sini*

13 Tanggapan to “Papua, sekilas masalah”


  1. 1 Christin September 22, 2011 pukul 12:13 am

    Cerita yang menarik, terutama tentang tulisan Acemoglu. Gak pernah nyangka kalau ada korelasi antara penyakit dan metode penjajahan.
    BTW, kenapa ya saya gak banyak ketemu dengan orang-orang Papua di Belanda… Gak kaya’ orang-orang Maluku (RMS) yang jumlahnya cukup banyak.

  2. 2 Zeph September 22, 2011 pukul 12:12 pm

    Hmm… melihat kompleksitas masalah (institusi, politik, ekonomi, budaya, dll) saya masih mencoba optimis, bahwa Papua bisa menjadi daerah yang lebih baik. 🙂

    Akhir kata, Zeph, itu saja dulu ocehan saya. Jelas banyak kekurangannya, tapi semoga memuaskan. 😉

    Terima kasih, sekarang saya lebih paham tentang Papua dan sejarahnya. 🙂

  3. 3 Chic September 22, 2011 pukul 2:20 pm

    Bintangin dulu postingan ini. :mrgreen:
    Aku blm pernah ke Papua ih, kapan ya ada yang bayarin aku ke situ 😐

  4. 4 Butterfly Menikmati Dunia September 23, 2011 pukul 10:49 am

    Postingan yang menarik.Kapan-kapan chat soal ini tengah malam pasti menarik 😀

  5. 5 jensen99 September 24, 2011 pukul 1:16 am

    @ Christin

    kenapa ya saya gak banyak ketemu dengan orang-orang Papua di Belanda

    Dibandingkan imigran asal Maluku, jumlah yang dari Papua memang jauh lebih sedikit, tapi saya tak tau juga seberapa sedikit/banyak mereka itu dan seberapa eksis. 🙄

    @ Zeph

    Semua itu kembali ke para pemimpin dan elit politik Papua sendiri, Zeph. Seberapa besar mereka mencintai tanah ini lebih dari pada kekayaan da kekuasaan mereka sendiri. 😉

    @ Chic

    Kemaren ada kemungkinan dibayarin, katamu cutinya yang gak cukup. :mrgreen:

    @ BMD

    Tentu pris, itu ide yang menarik. 😉

  6. 6 si.tam.pan September 24, 2011 pukul 3:22 am

    ini tho yang komennya sedikit tapi trefiknya tinggi itu, jenderal? :mrgreen:

  7. 7 sekolahubuntubangaip_topdeh September 25, 2011 pukul 5:24 pm

    Nggak ada tombol ‘like this’ atau ‘+1’ dari publik (selain yang punya akun di wp.com), kalau ada, sudah saya pencet dah.

    Keren ulasannya, Jendral. Saya baru tahu kalau poin 2 (Sejarah Administrasi Papua) adalah salah satu poin yang cukup kuat ternyata. Sempat ketemu sih beberapa teman Papua yang abroad, umumnya memang punya basis sosial yang lumayan (konsep basis sosial saya memang sangat bisa diperdebatkan, namun mereka minimal PhD atau country manager di MNC) namun saya belum pernah tanya apakah latar belakang opa/oma mereka yang kira-kira ternyata adalah mantan administratur peralihan NL ke RI pasca 1949 di Papua, yang membuat mereka mendukung gerakan kemerdekaan Papua.

  8. 8 Jalan Cinta Oktober 6, 2011 pukul 8:25 pm

    Apa gue bilang, kita sudah gak kekurangan lagi Orang pinter di Negri ini, tapi kita sudah sangat krisis Orang2 jujur

  9. 9 jensen99 Oktober 10, 2011 pukul 1:41 am

    @ si.tam.pan

    Iya, posting yang ini. 😛

    @ bangaip_topdeh

    Hmm… lebih jelas soal hal itu saya rasa bangaip sebaiknya melihat soal Resident J.P. van Eechoud dan sekolah Pamongpraja-nya. Orang-orang lulusan sekolah itu memang kelak berpengaruh dalam situasi politik disini, ntah pro atau anti Indonesia.

    @ Jalan Cinta

    Soalnya kalo jujur gak bisa kaya bos! :mrgreen:

  10. 10 Alex© Februari 7, 2012 pukul 3:31 pm

    @ jensen + bangaip

    Hasan Tiro, pengobar pemberontakan GAM di Aceh juga orang yang dulu termasuk pemuda pengibar bendera Merah Putih pertama di Aceh. Hehe. Disekolahkan oleh pemerintah RI malah.

  11. 11 Iwan Februari 20, 2012 pukul 12:23 am

    Selalu,selalu.
    Dimana,dimana.
    Merasa,merasa.
    Gak kebagian jatah.
    Aneh.
    Cobalah di mulai dari diri sendiri.
    Manusia pohon itu, Suruhlah belajar bercocok tanam.

  12. 12 Vitha sii Nona Beng'beng Juni 13, 2013 pukul 9:54 am

    sangat menarik 🙂


  1. 1 Best 2011 Posts Roundup « JenSen Yermi's Weblog Lacak balik pada Desember 29, 2011 pukul 11:00 pm

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s




JenSen99 is

I got a heart full of pain, head full of stress, handfull of anger, held in my chest. And everything left’s a waste of time~
September 2011
M S S R K J S
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
252627282930  

Top Posts

Arsip

Follow me on Twitter


%d blogger menyukai ini: