Papua, sepotong sejarah (repost)

(Masa Pemerintahan Nederlands-Indië)

Upaya Belanda yang pertama untuk menguasai secara nyata wilayah Nieuw Guinea terjadi pada 24 Agustus 1828 dengan meresmikan berdirinya suatu benteng bernama Fort Du Bus di Teluk Etna pada kaki Gunung Lamentjiri. Saat itu hari ulang tahun raja Belanda Willem I, diadakan upacara yang dihadiri dan disaksikan oleh sejumlah perwira, tentara, pegawai dan penduduk setempat, komisaris pemerintah Hindia Belanda A.J van Delden membacakan suatu proklamasi yang menyatakan bahwa “Atas nama dan untuk Sri Baginda Raja Nederland, Pangeran Oranye van Nassau, Hertog Agung Luxemburg, dan lain-lain, bagian daerah Nieuw Guinea serta daerah-daerah pedalaman yang mulai dari garis meridian 140 derajat sebelah timur Greenwich di pantai selatan terus ke arah barat, barat daya dan utara sampai kesemenanjung Goede Hoop di pantai utara, kecuali daerah-daerah Mansarai, Karondefer, Ambarpura dan Ambarpon yang dimiliki oleh Sultan Tidore dinyatakan sebagai milik Belanda”. Setelah selesai pembacaan Proklamasi, Bendera Belanda dikibarkan di tempat itu disertai dentuman meriam sebanyak 21 kali yang ditembakkan dari benteng Fort du Bus.

Segera setelah selesai upacara, wakil pemerintah Belanda itu mengadakan perjanjian tertulis dengan penduduk pribumi yang ditandatangani oleh Sendawan yang adalah Raja Namatotte, Kassa yang adalah Raja Lakahia, dan Lulu seorang kaya atau penghulu atas Lobo dan Mawara. Tiga orang itu diangkat dan dilantik sebagai kepala daerah dengan surat pengangkatan resmi dan masing-masing diberi tongkat kekuasaan yang berhulu perak. Selain tiga orang itu, diangkat pula 28 orang kepala daerah bawahan. Proklamasi ini merupakan tanda bahwa sejak itu kerajaan Belanda memiliki kedaulatan atas wilayah yang bersangkutan sehingga negara-negara Eropa lainnya tidak boleh lagi menempati dan memiliki wilayah yang disebutkan itu. Keputusan peresmian benteng itu diundangkan dalam Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1885 nomor 2.


Sejak awal abad XIX Pemerintah Belanda menetapkan peraturan ketata-negaraan yang dijadikan pedoman untuk menjalankan pemerintahan atas daerah-daerah jajahan Belanda di kepulauan Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Setelah beberapa kali mengalami pergantian, akhirnya pada 1 Mei 1855 Kerajaan Belanda atau Koningkrijk der Nederlanden memberlakukan suatu peraturan baru yang disebut reglement op het beleid der regering van Nederlandsch-Indie selanjutnya atas dasar itu ditetapkan Keputusan Gubernur Jenderal 18 Juni nomor 25/1901 yang dimuat dalam Staatblad 239/1901. Peraturan itu merupakan peraturan ketatanegaraan yang mengatur tata pemerintahan pada daerah jajahan Belanda yang disebut Nederlansch-Indie selama 70 tahun. Pada tahun 1925 peraturan ini diperbaharui menjadi Wet op de Staats inrichting van Nederlandsch-Indie atau disingkat Indische staatregeling sebagaimana termuat di dalam Staatblad 1925/415.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan di Hindia Belanda dikenal dua sistem, yaitu: Pertama, penyelenggaraan pemerintahan dalam lingkungan wilayah yang langsung dikuasai sendiri oleh pemerintah Hindia Belanda. Wilayah kekuasaan ini disebut Rechtstreeks bestuurdgebied atau Direct bestuurdgebied atau juga Gouvernements-gebied; Kedua, sistem penyelenggaraan pemerintahan dengan perantaraan kerajaan-kerajaan yang sudah ada di Hindia Belanda sebelum Belanda dan VOC datang ke wilayah ini, dalam perkembangannya satu-persatu kerajaan asli diikat dengan kontrak politik. Pada setiap kontrak politik yang diadakan dengan kerajaan-kerajaan lokal Belanda mengakui keberadaan kerajaan-kerajaan ini dan hak mereka untuk menyelenggarakan pemerintahan dalam lingkungan wilayahnya masing-masing. Kerajaan-kerajaan asli ini dinamakan selfbestuursgebied atau landschaps-gebied atau Indirect bestuurdgebied, karena memiliki pemerintahan sendiri dan tidak langsung diperintah oleh pemerintah Hindia Belanda.

Menjelang akhir abad XIX, Gubernur Jenderal Hindia Belanda memekarkan wilayah pemerintahan di bagian timur, saat itu Nieuw-Guinea memperoleh dua wilayah jabatan sekaligus wilayah administrasi pemerintahan yang dimekarkan dari Ternate. Dua wilayah jabatan ini disebut ressort van ambtelijk atau bestuursressort, sedangkan wilayah administrasi pemerintah yang dikuasai oleh pejabat-pejabat ini disebut Afdeling. Dua wilayah Afdeling dalam Hindia Belanda yang termasuk dalam Residentie Ternate on Onderhooringheden.

Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 5 Pebruari 1899 nomor 19 menetapkan delapan Afdeling di wilayah Hindia Belanda bagian timur, dua di antaranya adalah Afdeling Noord Nieuw Guinea dan Afdeling West en Zuid Nieuw Guinea yang dimuat dalam Staatsblad nomor 63/102.

Afdeling Noord Nieuw Guinea meliputi wilayah bagian utara di sebelah timur Kaap de Goede Hoop atau Yamoer Seba serta pulau-pulaunya. Afdeling West en Zuid Nieuw-Guinea meliputi bagian selebihnya berikut pulau-pulau termasuk kepulauan Raja Ampat. Kedua satuan wilayah ini masing-masing di bawah jabatan seorang pejabat yang disebut Controleur dari pemerintahan dalam negeri Hindia Belanda dengan pusat kedudukan administrasi di Manokwari untuk Afdeling Noord Nieuw Guinea dan di Fakfak untuk Afdeling West en Zuid Nieuw Guinea.

Dalam tahun pertama abad XX Afdeling West en Zuid Nieuw Guinea di bagi menjadi dua bagian, yaitu Afdeling West Nieuw Guinea meliputi wilayah dari Kaap Yamoer Seba sampai Kaap Steenboom termasuk pula kepulauan Raja Ampat. Afdeling Zuid Nieuw Guinea mencakup Kaap Steenboom sampai ke muara sungai Bensbach. Afdeling Zuid Nieuw Guinea dikepalai oleh seorang Assisten Resident.

Pada tahun berikutnya dengan ordonantie 20 Januari 1902 Afdeling Zuid Nieuw Guinea dengan pusat pemerintahannya di Merauke dijadikan daerah yang diperintah langsung oleh pemerintah Hindia Belanda, tidak lagi menjadi zelfbestuursgebied dari kesultanan Tidore.

Kontrak politik berbentuk korte verklaring 3 Juni 1909 menentukan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda secara langsung atas wilayah kesultanan Tidore. Saat itu Sultan Tidore mengakui bahwa wilayahnya merupakan bagian dari Hindia Belanda dan berada dibawah kekuasaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Tidore berjanji tidak akan menjalin hubungan ketatanegaraan dengan negara-negara lainnya dan akan mentaati segala peraturan dan perintah kerajaan Belanda. Selanjutnya sebagai ketentuan terakhir dalam perjanjian itu kesultanan Tidore mengakui hak Pemerintah Hindia Belanda untuk setiap waktu memasukkan wilayah kesultanan ke dalam lingkungan rechtstreeks bestuurdgebied. Bagi Nieuw Guinea ketentuan yang terakhir ini penting sekali karena kelak akan mempengaruhi status ketatanegaraannya.

Hindia Belanda mengalami perkembangan tata pemerintahan, kedudukan zelfbesturende landschappen yang telah diikat dengan perjanjian korte verklaring kemudian secara seragam diatur lebih lanjut dalam zelfbestuursregelen 1938 dan ditetapkan dengan keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 14 September 1939 nomor 29 yang diundangkan dalam Staatsblad 1939/529 serta penjelasannya dalam Bijblad 14099.

Pembagian administrasi pemerintahan Hindia Belanda terus saja mengalami perubahan dalam perjalanan waktu. Keadaan ini turut mempengaruhi perkembangan di wilayah Nieuw Guinea. Menurut keadaan terakhir sebelum pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada balatentara Jepang dalam tahun 1942, di wilayah timur Hindia Belanda terdapat Residentie Molukken (Keresidenan Maluku) yang terbagi dalam lima Afdeling dan 28 Onderafdeling. Setiap Afdeling dikepalai oleh seorang Asisten-Residen. Lima Afdeling dimaksud adalah: 1. Amboina yang beribu kota di Amboina; 2. Ternate beribu kota Ternate; 3. Toeal beribu kota di Toeal; 4. Noord Nieuw Guinea beribu kota di Manokwari; 5. West Nieuw Guinea beribu kota di Fakfak.

Afdeling Noord Nieuw Guinea dibagi kedalam lima Onderafdeling, yaitu: 1. Sorong; 2. Manokwari; 3. Seroei; 4. Sarmi; 5. Hollandia. Masing-masing Onderafdeling itu terdiri atas beberapa district yang termasuk dalam lingkungan wilayah zelfbesturende landschap Tidore.

Afdeling West Nieuw Guinea dibagi dalam tiga Onderafdeling, yaitu: 1. Fakfak; 2. Inanwatan; 3. Mimika. Tiga Onderafdeling itu mencakup beberapa wilayah District yang masuk dalam wilayah Kesultanan Tidore, kecuali dua District dalam Onderafdeling Mimika, yaitu District Otakwa-rivier dan District Lorentz–rivier yang merupakan rechtsreeks bestuurgebied.

Afdeling Zuid Nieuw Guinea yang pernah dinyatakan sebagai rechtsreeks bestuurgebied telah dihapus dan sebagai gantinya dibentuk dua Onderafdeling, yaitu: 1. Onderafdeling Boven Digoel (Digul atas) yang berpusat pemerintahan di Tanah Merah; 2. Onderafdeling Zuid Nieuw-Guinea dengan pusatnya di Merauke. Masing-masing Onderafdeling ini dikepalai oleh seorang Controleur dan dibagi dalam Bestuurressort dibawah Pembantu Controleur. Onderafdeling Boven Digoel hanya terdiri dari satu Bestuursressort Boven Digoel, sedangkan Onderafdeling Zuid Nieuw Guinea mencakup empat Bestuursressort: Merauke, Okaba, Kimaam dan Moeting. Kedua Onderafdeling itu termasuk dalam lingkungan Afdeling Toeal di kepulauan Kei.

Masa Pemerintahan Pendudukan Jepang

Perang Dunia ke-II berkecamuk dengan sangat dashyat dan bala tentara Jepang menyerbu ke Asia Tenggara. Pemerintah Hindia Belanda menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Jepang di bulan Maret 1942. Pasukan Jepang menduduki seluruh kepulauan Hindia Belanda, termasuk Nieuw Guinea. Pemerintah Hindia-Belanda mengungsi ke benua Australia dan membangun pemerintahan Hindia-Belanda di pengungsian yang dipimpin seorang Leuitenan Gouverneur General yang berkedudukan di kota Brisbane, Australia bagian Timur laut. Di kota itu, pada akhir tahun 1943 ditetapkanlah Overgangsbesluit Algemeen Bestuur Nederlandsch-Indie yang merupakan peraturan tata pemerintahan Hindia Belanda dalam keadaan darurat. Menurut peraturan ini Luitenant Gouverneur-General dalam menyelenggarakan pemerintahan berwenang menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam Indische Staatsregeling dan peraturan perundangan lainnya yang ada mengenai tata pemerintahan Hindia Belanda. Peraturan ini menjadi keputusan Ratu Belanda tanggal 23 Desember 1943 dan dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1944 nomor 1.

Sementara di bekas Hindia Belanda, seluruh kesatuan administrasi di Hindia Belanda bagian timur berada di bawah penguasaan Kaigun atau Angkatan Laut Jepang yang bermarkas di Makassar. Birokrasi Sipil dalam penyelenggaraan administrasi ini disebut Minseifu dengan kepala administrasi yang disebut Minseifu Cokan. Jabatan Controleur dan Gezaghebber yang ditinggalkan semasa Hindia Belanda dihapus dan wewenangnya sebagai ujung tombak pemerintahan dialihkan kepada Syutjo yang mempunyai seorang penghubung logistik dengan angkatan perang, yaitu Bunken Kandikan. Semuanya sangat asing bagi penduduk Nieuw Guinea.

Sebelum pendudukan pasukan Jepang telah ada tanda-tanda di Manokwari, ibu kota Noord Nieuw Guinea yaitu tahun 1940 ada suatu kantor cabang dari suatu perusahaan Jepang yang bernama Nanyo Kohatsu Kabastiki Kaisha, perusahaan perkembangan daerah laut selatan yang bertindak sebagai perusahaan produksi, tetapi kenyataannya wadah ini merupakan organisasi intelijen yang mempelajari situasi wilayah Nieuw Guinea untuk keperluan perang bagi Jepang. Pegawai perusahaan tersebut diberi perintah dari kantornya untuk mengadakan penyelidikan sumber-sumber pertambangan di bagian utara Nieuw Guinea, selain itu diberi tugas agar mencari daerah-daerah tanah yang subur dengan menggunakan penyelidikan botani sebagai alasan penelitiannya. Dengan demikian terkumpul keterangan mengenai kemungkinan adanya ketersediaan bahan kebutuhan untuk kesatuan-kesatuan angkatan perang yang akan beraksi di wilayah Nieuw Guinea utara.

Pemerintah Hindia Belanda sebenarnya tidak berkehendak membiarkan perusahaan-perusahaan Jepang beroperasi di Nieuw Guinea, karena ada desas-desus yang berkembang di Jepang untuk menjadikan Nieuw Guinea sebagai tempat pemindahan penduduk yang berkelebihan di Jepang. Tetapi juga pemerintah Hindia Belanda menghadapi kenyataan “perkembangan ekonomi” di Nieuw Guinea untuk kepentingannya tidak akan berjalan kalau tidak ada pengelolaan sumber daya alam oleh perusahaan-perusahaan yang membantu pemerintah. Terpaksa pemerintah Hindia Belanda memberikan izin-izin operasi kepada orang-orang Jepang yang mendirikan tiga perusahaan perkebunan dan satu perusahaan pengolahan gopal di Nabire dan Waropen. Saat itu tercatat, Nieuw Guinea menghasilkan 1/10 dari produksi gopal di seluruh dunia. Pada tahun 1938 perusahaan-perusahaan Jepang yang bergerak di Nieuw Guinea telah mempekerjakan kurang lebih 1.100 pekerja orang asli Hindia Belanda. Berarti Perusahaan-perusahaan Jepang di Nieuw Guinea telah mempunyai tenaga kerja yang cukup banyak. Ketika tanggal 17 Desember 1941 pangkalan angkatan laut Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawai tiba-tiba diserang oleh kesatuan-kesatuan angkatan laut Jepang. Tiga daerah perkebunan Jepang di Nieuw Guinea langsung berubah fungsi menjadi lapangan terbang yang mempermudah usaha pendaratan.

Di Nieuw Guinea petugas administrasi pemerintah Hindia Belanda pada Afdeling, Onderafdeling dan District terpaksa menyerah kepada pendudukan Jepang tanpa mengadakan sedikitpun perlawanan, kecuali di wilayah Merauke kesatuan-kesatuan administrasi pemerintahan masih tetap bertahan sampai perang dunia II berakhir. Orang-orang Belanda di utara Nieuw Guinea yang tidak sempat melarikan diri ke Merauke atau ke Australia ditangkap dan dijadikan tawanan perang oleh Jepang, diantaranya ada yang menemui ajal di kamp tahanan Jepang. Orang-orang pribumi Nieuw-Guinea berusaha menghindari pertemuan dengan pasukan Jepang, walaupun beberapa diantaranya menunjukan sikap kerjasama dengan Jepang dalam organisasi Kempetai. Silas Papare yang bertugas sebagai seorang mantri perawat kesehatan di Nieuw Guinea pada zaman Hindia Belanda memimpin perlawanan rakyat teluk Geelvink terhadap Jepang, sementara di pulau Supiori seorang perempuan bernama Angganita Menufandu dan beberapa orang laki-laki menantang Jepang dengan gerakan Manseren Manggundi. Hollandia sebagai salah satu tempat dimana perkebunan kapas Jepang di Sentani berubah menjadi pangkalan pertahanan dekat lapangan terbang Skoijo buatan Jepang yang mempekerjakan secara paksa penduduk setempat, tiba-tiba muncul gerakan perlawanan fisik terbuka yang dipimpin oleh Simson Soumilena, dan Marthen Indey yang sebelumnya bertugas sebagai seorang anggota polisi di Amboina-Maluku bergerak sebagai mata-mata yang di perintahkan langsung oleh pemerintah pengasingan Hindia Belanda dari Brisbane untuk membuat peta posisi pertahanan Jepang di Sentani. Secara rahasia Marthen Indey menyamar sebagai tenaga romusha dan ia berhasil membuat peta yang menjadi petunjuk bagi Jenderal Legendaris Perang Dunia II Douglas MacArthur di kawasan Pasifik untuk menghancurkan pangkalan Jepang di Sentani. Peta itu diselundupkan ke Australia melalui jaringan kurir yang tak diketahui Jepang.

Selama pendudukan Jepang, diterapkan kerja paksa untuk membangun lapangan Udara Sentani serta berbagai instalasi pangkalan militer seperti: jembatan, gudang perbekalan makanan dan amunisi, tubir pantai dan lain-lain.

Pada tanggal 22 April 1944, tentara Amerika dan sekutu-sekutunya yang juga turut diboncengi tentara Belanda, menyerang tentara Jepang dan selanjutnya menududuki Hollandia. Setelah Hollandia dan tempat-tempat lain di Pantai Utara Nieuw-Guinea direbut kembali oleh tentara Sekutu. Namun baru pada tanggal 25 Januari 1946 tentara Sekutu menyerahkan urusan administrasi sipil atas Hollandia dan daerah-daerah lain di Papua bagian utara yang telah dibebaskan dari tentara pendudukan Jepang kepada CONICA (Commander of Netherlands Indie Civil Administration) yang lalu menjadikan Hollandia sebagai pusat Administrasi Sipil (pemerintahan).

Masa Pemerintahan Pendudukan NICA

Ketika pasukan perang sekutu Amerika berhasil menaklukan tentara Jepang di Nieuw Guinea, segala urusan sipil diserahkan langsung dalam keadaan darurat kepada satuan-satuan NICA sebagai Anggota Tentara Sekutu. Setiap kesatuan NICA terdiri dari 30 sampai 85 anggota di bawah pimpinan seorang Commanding Officer NICA atau disebut CONICA yang disetarakan dengan kedudukan Residen atau Afdeling Chief pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Kesatuan-kesatuan NICA ditempatkan pada seluruh bekas pangkalan Jepang, di antaranya yang menonjol adalah di Hollandia, Sentani, Wakde, Sarmi, Bosnik, Serui, Numfoor, Sausafor hingga Morotai sesuai dengan strategi perang “loncat katak” ciptaan Jenderal Douglas MacArthur. Beberapa dari CONICA dijabat oleh orang-orang Indonesia. Pemerintah NICA mula-mula terdiri atas seorang staff officer NICA dan beberapa Commanding Officer, namun kemudian sejak 28 September 1945 staff officer NICA diganti dengan beberapa chief commanding officer yang masih tersusun lagi atas jabatan sub commanding officer NICA yang menjalankan tugas dan wewenang sebagaimana pada masa sebelumnya adalah assistent-resident. Hal ini dapat dibaca pada ketentuan yang termuat dalam Staatsblad 1946/5.

Setelah Jepang menyerah kalah dalam perang Dunia II, Kolonel Abdoelkadir Widjojoatmodjo digantikan sebagai chief CONICA oleh J.P.K van Eechoud yang kemudian lebih terkenal sebagai Residen Nieuw Guinea mewakili pemerintah Hindia Belanda fase setelah Perang Dunia II sampai Nieuw Guinea dijadikan suatu wilayah yang diperintah oleh seorang Gubernur tersendiri.

Sebelum itu, Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengeluarkan keputusan nomor 3 tanggal 29 Nopember 1944 yang menetapkan bahwa semua wewenang, hak dan kewajiban dari pada zelfbestuur (pemerintahn sendiri/langsung) Tidore pada wilayah yang telah atau akan dibebaskan dari tangan musuh, untuk dan atas nama zelfbestuur tersebut dilakukan oleh atau atas nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pencabutan wewenang, hak dan kewajiban zelfbestuur Tidore itu sepanjang mengenai zelfbestuurgebied di wilayah Nieuw Guinea tidak pernah dikembalikan dan menjadi sah adanya. Sebuah proses sejarah sebagaimana terjadi sebelumnya antara Belanda dan Tidore terhadap wilayah kekuasaan yang sama. Dengan keputusan tanggal 15 Desember nomor 1 tahun 1945, Letnan Gubernur Jenderal membatalkan keputusannya dari tahun 1944 itu, namun wewenang dan hak yang dikembalikan kepada sultan Tidore hanya sejauh mengenai daerah kekuasaannya sendiri sebagaimana kemudian dimuat dalam Staatsblad 1944/8 yang secara administratif tidak termasuk dalam lingkungan Afdeling Noord Nieuw Guinea dan West Nieuw Guinea. Di sini sudah mulai nampak usaha pihak Belanda untuk memisahkan Nieuw Guinea dari wilayah Hindia Belanda lainnya. Perkembangan militer dan keadaan selanjutnya membuat seluruh kepulauan Hindia Belanda termasuk Nieuw Guinea menjadi wilayah operasi militer Inggris meskipun Nieuw Guinea telah dibebaskan Tentara Sekutu 1944. Setelah Jepang menyerah kalah kepada pihak Sekutu maka tugas tentara Inggris di bekas Hindia Belanda adalah memulihkan tawanan-tawanan dalam perang yang lalu dan mengembalikan bala tentara Jepang ke tanah airnya.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 pasangan Sukarno dan Muhammad Hatta memproklamirkan Indonesia Merdeka di bawah sisa-sisa kekuasaan Jepang yang masih bertahan di Jakarta dan sekitarnya.[1]

Pada tanggal 21 Agustus 1945 tentara kerajaan Inggris dan kerajaan Belanda membuat perjanjian yang menyetujui pada bekas wilayah Hindia Belanda untuk sementara dilangsungkan suatu fase pemerintahan militer sekutu dengan disokong oleh NICA yang sedapat mungkin akan menyelenggarakan pemerintahan sipil.

Pada tanggal 15 Juli 1946, yaitu sehari sebelum konferensi Malino dibuka, di Makassar diadakan upacara penyerahan pemerintahan atas wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, kepulauan Maluku dan Nieuw Guinea oleh pemimpin tentara pendudukan Inggris setempat, atas nama panglima tertinggi Souts East Asia Command kepada Letnan Gubernur Jenderal H.J. van Mook sebagai wakil pemerintah Belanda. Tanggal 18 Juli 1946 Frans Kaisiepo berpidato di depan konferensi Malino, saat itu secara resmi ia mencetuskan nama Irian di depan sidang yang diliput oleh beberapa surat-kabar lokal dan Radio Makassar yang menyiarkan kabar adanya keinginan putera-putera Nieuw Guinea agar nama Papua dan Nieuw Guinea diganti dengan nama asli(?), IRIAN.[2]

Masa Pemerintahan Nederlands Nieuw Guinea

Tahun 1949 van Eechoud diangkat oleh Ratu Juliana menjadi Gubernur sementara atas suatu wilayah lama yang diberi nama baru, yaitu Nederlands Nieuw Guinea. Ia memindahkan kantornya dari Kota NICA ke Hollandia Binnen pada tahun 1949, bekas markas Jenderal Douglas Mac Arthur tahun 1944 yang kemudian hari pada tahun 1954 menjadi kampus OSIBA (Opleidings School voor Inheemsche Bestuurs Ambtenaren) dan pada tahun 1963 menjadi kampus Universitas Cenderawasih.

Tanggal 27 Desember 1949 merupakan tanggal Pengakuan Kedaulatan Negara Republik Indonesia Serikat dalam Konferensi Meja Bundar antara Belanda, Indonesia, Amerika dan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berlangsung sejak tanggal 19 Desember di Den Haag, Belanda. Atas berbagai pertimbangan di antaranya Canberra Agreement dan semangat serta jiwa mengakhiri Perang Dunia ke-II yaitu perdamaian dan persahabatan abadi, sejak hari itu terjadi pemutusan urusan antara Hindia Belanda yang sudah diakui sebagai Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan West Nieuw Guinea yang hendak dijadikan Daerah Otonomi Luas menuju proses dekolonisasi dengan pemerintahan bernama Gouvernement van Nederlands Nieuw-Guinea. Pada waktu itu pula (27-12-1949) pejabat Gubernur Niew-Guinea J.P.K. van Eechoud di Hollandia Ibu Kota Nederlands Nieuw Guinea mengumumkan “Proclamatie van Nieuw Guinea” tertera dalam naskah bahasa Belanda dan bahasa Melayu, Proklamasi itu berbunyi sebagai berikut:

(naskah bahasa Belanda):

Proclamatie

Ingezeten van Nieuw Guinea!

Involgenede de besluiten ter Ronde Tafel Conferentie genomen, zal op deze dag aan de Repuliek Indonesie worden overgedragen, met uitzondering van de voormalige Residentie Nieuw Guinea.

Vanaf deze dag zijt gij allen ingezetenen van het Gouvernement in naan van onze ge-eerbiedigde Koningin.

Smeken wij den Allerhoogste zijn zegen te schenken aan dit land bidden wij dat Hij ons onder eiding van Here Majesteit Koningin Juliana moge voeren naar voorspoed en vrede.

Hollandia 27 Desember 1949

De Waarnemend Gouverneur van Nieuw Guinea

Was getekend:

J.P.K. van Eechoud.

(naskah bahasa Melayu):

Proklamasi

Bagi penduduk Nieuw-Guinea!

Berdasarkan keputusan-keputusan jang ditetapkan dalam Konferensi Medja Bundar, maka kepada Republik Indonesia Serikat terdjadi penjerahan kedaulatan dengan terketjuali jang disebut Residentie Nieuw Guinea.

Sedjak hari ini kamu semuanja adalah penduduk Gouvernement Nieuw Guinea, dalam hal ini pemerintahan umum diselenggarakan atas nama Ratu jang kita muliakan.

Kepada Tuhan Jang Maha Kuasa kita mohon pemberkatannja atas tanah ini dan berdoa agar Dia melindungi kita di bawah Ratu Juliana boleh membawa kemakmuran dan kedamaian.

Hollandia, 27 desember 1949.

Pedjabat Gubernur Nieuw Guinea

Tertanda

J.P.K. van Eechoud.

Sejak tanggal 27 Desember 1949 mulailah berlaku Besluit Bewindsregeling Nieuw-Guinea. Menurut peraturan ketetanegaraan ini, penyelenggaraan pemerintahan umum atas nama Ratu Belanda di Nieuw-Guinea atau Provincie van Nederlands Nieuw Guinea dengan sebutan Gouvernements van Nederlands-Niuw Guinea dijalankan oleh seorang pejabat dengan sebutan Gouverneur.

Gouverneur dalam melaksanakan tugasnya mempergunakan aparatur yang dinamakan Diensten van Algemeen Bestuur (jawatan-jawatan Pemerintahan Umum) yang tugas dan wewenangnya diatur olehnya dengan persetujuan Ratu Belanda. Masing-masing jawatan itu dikepalai oleh seorang kepala (dengan sebutan Directeur) yang diangkat dan diperhentikan oleh Ratu setelah dimusyawarahkan dengan Gouverneur (Bewindsregeling Nieuw-Guinea pasal 60). Termasuk diberlakukan mata uang sendiri (Otonomi Nieuw Guinea) disebut Nieuw Guinea Gulden.
Pada permulaan pemerintahan Gouvernements van Nederlands Nieuw-Guinea diadakan 4 Dienst, tapi dalam pertumbuhan selanjutnya sampai keadaan terakhir (1961) terdapat 8 Diensten van Algemeen Bestuur […]

[1] Sesungguhnya sudah harus dinyatakan sebagai produk Jepang yang kalah Perang Dunia ke-2 karena menjadi kontradiksi yang melahirkan Konferensi Meja Bundar Den Haag-Negeri Belanda melalui keputusan 27 Desember 1949 memberi “Kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat” bukan yang diproklamasikan itu.

[2] Namun bukan hanya itu karena dalam Konferensi ini, Kaisiepo juga kehendaki adanya Nieuw Guinea menjadi Selfbestuur Gebied (Wilayah Berpemerintahan Sendiri/Langsung) bagi wilayah yang disebut Irian itu.

 

 

Catatan:
1. Artikel ini saya kopas dari sebuah milis, dengan sedikit editan terutama pada istilah asing.
2. Tautan ke milis tersebut saya dapat dari komentar pak Harlan Eryandi pada sebuah artikel di Politikana.
3. Sepertinya ini kutipan sebuah buku yang belum saya ketahui judulnya. Sayang saya tidak bisa mendapatkan bagian yang terputus di pangkal dan ujung artikel dari sumber lain di internet.
4. Saya taruh di blog sebagai arsip karena saya anggap (mungkin) berguna.
🙂

2 Tanggapan to “Papua, sepotong sejarah (repost)”


  1. 1 Abed Saragih Oktober 26, 2011 pukul 7:23 pm

    kunjungan dan komentar balik ya gan

    salam perkenalan dari

    http://diketik.wordpress.com

    sekalian tukaran link ya…

    semoga semuanya sahabat blogger semakin eksis dan berjaya.

  2. 2 anto' Oktober 27, 2011 pukul 8:37 am

    copied, printed..


Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s




JenSen99 is

I got a heart full of pain, head full of stress, handfull of anger, held in my chest. And everything left’s a waste of time~
Oktober 2011
M S S R K J S
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
3031  

Top Posts

Arsip

Follow me on Twitter


%d blogger menyukai ini: