Melanjutkan tradisi lima tahunan, saya akan posting siapa-siapa yang saya tusuk di Pemilu 2019 kemarin. Postingan ini sangat terlambat sih, tapi ya apa boleh buat, kondisi saya tidak memungkinkan untuk mengetik posting blog usai mencoblos. Ketik ini pun masih dengan empat jahitan di jari telunjuk kiri yang belum dibuka. 🙂
Cerita flashback sedikit, saya ada masalah kesehatan yang mengharuskan menjalani operasi di Rumah Sakit pada Minggu 14 April kemarin, sehingga pada hari H Pemilu Rabu 17 April pagi saya masih menjalani rawat inap dan belum diijinkan pulang. Tentunya saya sudah siap harus mencoblos di TPS RS Bhayangkara bermodal KTP saja, sudah diinformasikan akn difasilitasi walopun rumah saya hanya sepelemparan batu dari RS, yang mestinya TPS saya tidak jauh andai diijinkan pergi. Tapi Pemilu kali ini berbeda level kacaunya: Nama saya (dan ortu) tidak ada di DPT TPS dekat rumah atau TPS manapun dalam kompleks, tidak ada undangan memilih, dan situs KPU tuk ngecek TPS tentu saja kelebihan beban gak bisa diakses. Menambah buruk kekacauan, entah ada konspirasi apa dari KPU Kota, seluruh kecamatan saya dan kecamatan sebelah tidak mendapat logistik Pemilu sama sekali sehingga setengah Kota tidak ada pencoblosan. Pemilu resmi ditunda besok (18 April). Rabu sore itu saya sudah diijinkan pulang tuk rawat jalan walo luka operasi dan bekas infus masih sangat sakit.
Kamis pagi, setelah malamnya memastikan secara daring dan paginya melihat langsung DPT, saya mengetahui kalo nama saya terdaftar di TPS 15. Sudah di luar kompleks walau gak terlalu jauh, di SD Inpres. Ngantrilah saya tuk mencoblos dengan perban di kedua tangan dan wajah, kucel karena belum bisa mandi. Brengseknya, walaupun terdaftar saya ditolak mencoblos dengan alasan tidak mendapat undangan. Saya diperlakukan sama dengan pemilih tak terdaftar yang memakai KTP: harus mencoblos siang. Lewat jam 8 pagi saat itu, berarti harus menanti 4-5 jam lagi, bangsat. Bertengkar dengan panitia KPPS tidak membawa hasil sekalipun saya didukung para saksi yang tampaknya lebih paham peraturan. Saya menahan diri saja dan duduk menunggu, tidak ada gunanya melanjutkan keributan dengan panitia yang bodoh, lelah, dan sibuk melayani pemilih lain. Sempat ditawari bokap tuk mencoblos saja pake KTP di TPS 24 dekat rumah tanpa perlu nunggu siang (karena panitanya tetangga), tapi saya nolak. Jam 11 lewat, seorang pemuda memanggil, rupanya ibu Kepsek SD (lokasi TPS 15) menawarkan saya tuk memakai undangan anak beliau yang sedang di luar kota. Gobloknya adalah semua panitia KPPS mengkonfirmasi (karena kenal) kalo si empunya undangan memang di luar kota dan saya boleh pake undangannya tuk mencoblos. Entah di DPT nama siapa yang dicentang, yang penting saya bisa menggunakan hak pilih.
Jadi ini nama-nama yang saya tusuk:
Presiden dan Wapres:
Joko Widodo dan siapalah itu kyai anti Ahok. Cukup jelas.
DPR RI:
Sulaeman Hamzah. Partai NasDem nomor urut 1.
Orang ini petahana, dari partai nasionalis anggota koalisi, domisili Jayapura, dan bisa dibilang kenal karena beliau asal NTT juga. Tidak ada caleg-caleg lain dari partai nasionalis yang menarik dengan banyaknya muka lama. Sudah tidak realistis juga mencoblos PSI yang caleg jagoannya pun bukan anak Jayapura.
DPR Papua:
Yacob Ingratubun. Partai Golkar nomor urut 4.
Dua pemilu sudah memilih caleg Hanura yang selalu tembus, sekarang partainya terjun, saatnya memilih caleg nasionalis lain dari partai yang selalu aman. Muka lama di dewan, dan dari partainya Wagub. PSI juga bukan pilihan kecuali mereka punya yang selevel Tsamara Amany tuk dapil saya.
DPRD Kota Jayapura:
Jimmy Jones Asmuruf. Partai Gerindra nomor urut 1.
Teman satu geng dan muka lama juga. Gak mungkin milih orang lain.
DPD RI:
Habelino Sawaki.
Selalu sulit milih senator, yang kupilih kemarin gak masuk. Ini adik kelas saat SMA, jadi lumayan kenal. Satu Universitas juga walau lain Fakultas.
Begitulah cerita Pemilu kemarin. Semoga pilihan politik tidak sia-sia dan lima tahun ke depan makin baik walo negara ini makin terbelah dua.
0 Tanggapan to “Coblosan saya (2)”